Mempelajari suatu agama, terutama agama Islam hendaknya dilakukan melalui guru. Meskipun saat ini banyak sekali teknologi yang semakin memudahkan seseorang untuk belajar agama, tapi hendaknya tetap memiliki guru untuk mendapatkan pengajaran agama yang tepat.
Belajar tanpa guru dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam ajaran yang salah. Mempelajari agama Islam tanpa guru menyebabkan kebingungan bagi diri sendiri karena tidak adanya keteguhan dalam belajar. Maka dari itu hukum belajar agama tanpa guru tidak dianjurkan.
Syaikh Abu Yazid al Bustamiy (wafat 261 H, seorang sufi[1] bermadzhab Hanafi) mengatakan:
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَّيْطَانُ
"Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan."
Sementara redaksi lain ditemukan dalam Tafsir Ruh Al-Bayan, karya Isma’il Haqqi Al-Hanafi (wafat 1715 M):
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ
"Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan."
Dengan demikian, seseorang tidak bisa mengamalkan ajaran-ajaran ilmu agama atau syariat bila tanpa bimbingan guru atau mursyid. Jika tidak, maka ia akan tersesat dan kehilangan arah.
Kata Muhammad bin Sirin (seorang ulama di era tabi’in) sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim yang ditulis oleh Imam Muslim;
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
(Sesungguhnya ilmu itu adalah agama. Maka dari itu, perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian).
Kesimpulannya, ilmu syariat tidak bisa dipelajari secara otodidak atau dengan guru yang salah, sebab jika hal itu terjadi maka ia akan terjebak pada penyimpangan tentang makna dan tujuan agama. Namun, jika seseorang pernah belajar ilmu agama (ulumul qur'an, nahwu, sharaf, fikih, dan lainnya) secara mendalam dengan seorang guru kompeten, kemudian ia ingin mengulangi untuk mempelajarinya, maka ia boleh mempelajarinya sendiri dengan maksud mendalaminya.
Semoga ALLAH senantiasa membimbing kita dengan hidayah dan taufiq-Nya