Dewasa ini, hal-hal yang keluar dari adat (khoriqul adat) seringkali muncul di permukaan media sosial, entah itu perihal sesuatu yang positif maupun sebaliknya. Hal ini terbukti apabila kita melihat top trending, apakah itu di TikTok, Twitter, Instagram, YouTube, dan media sosial semisalnya menampilkan unggahan yang beraneka ragam, baik itu genre komedi, romantis, dan lain-lain.
Konten-konten yang diunggah ke media sosial, terutama yang viral tentu muaranya lahir dari ekspresi manusia yang diluapkan dengan mewujudkannya untuk diunggah ke internet. Konten yang diunggah pun berisikan aneka ragam motif, seperti konten yang bersifat hiburan, informatif, atau malah kombinasi dari keduanya. Tak jarang pula konten yang diunggah oleh orang-orang dewasa ini dimaksudkan sebagai lahan untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. YouTube bisa kita dapatkan dari adsense, Facebook kita bisa menjual barang-barang di marketplace yang disediakan, atau lain sebagainya. Pada intinya, opportunity yang tersedia di internet akan selalu ada dan dicari oleh orang-orang.
Sementara itu, dalam Islam pada prinsipnya tidak melarang seseorang untuk memviralkan suatu kejadian di media sosial. Hal semacam ini termasuk di dalam wilayah muamalah. Adapun kaidah fikih yang dirumuskan para ulama yang juga mendasari kebolehan melakukan hal-ihwal di atas ialah sebagai berikut
الأصل في الأشياء الإباحة
Artinya: “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah.”
Di antara dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
وسخر لكم ما في السماوات وما في الأرض جميعا منه
Arinya: “Dan Dia telah menundukkan untuk kalian semua yang ada di langit dan di bumi, (sebagai rahmat) dari-Nya.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 13)
Berdasarkan Ayat di atas dan Ayat-Ayat semisal, Allah ta’ala menjelaskan bahwa Dia menciptakan dan menundukkan semua yang di langit dan di bumi untuk manusia, dan itu berarti hukum asal untuk semua hal tersebut adalah halal dan mubah digunakan.
Sementara itu, hadis Nabi Muhammad saw:
ما أحل الله فهو حلال، وما حرّم فهو حرام، وما سكت عنه فهو عفو، فاقبلوا من الله عافيته، فإن الله لم يكن لينسى شيئا
Artinya: “Apa yang Allah halalkan maka ia halal, dan apa yang Allah haramkan maka ia haram, sedangkan apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan, maka terimalah oleh kalian pemaafan dari Allah tersebut, karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu.” (HR. Al-Bazzar, Ath-Thabarani, dan Al-Baihaqi, dari Abu Ad-Darda radhiyallahu ‘anhu, dengan sanad Hasan)
Hadis ini menunjukkan bahwasanya hal-hal yang tidak dijelaskan Allah ta’ala hukumnya berarti ia dimaafkan dan boleh dikerjakan.
Secara sederhana, jika sesuatu tidak ada penjelasannya yang tegas dalam nash syariat tentang halal-haramnya, maka ia halal hukumnya. Namun, kaidah ini memiliki batasan, yakni sejauh perilaku atau hal-ihwal yang kita viralkan masih tidak offside dari koridor syariat Islam.
Bahkan, memviralkan suatu kejadian dapat bernilai pahala yang besar, yakni apabila kita memviralkan hal ihwal kebaikan, terlebih banyak yang mengikutinya. Ah, sudah barang tentu akan menjadi jariyah bagi sang konten kreator.
من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه
Artinya: “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (H.R. Muslim no. 1893).
Sebaliknya, apabila kita mempopulerkan hal-ihwal keburukan, maka dapat berpotensi pula menjadi jariyah dosa bagi kita apabila ditiru oleh orang-orang yang menyaksikannya. Hal ini senada dengan hadis Nabi saw yang artinya, “Siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka.” Dari sini, kiranya dapat kita ambil poin penting, yakni betapa pentingnya bijak dalam bermedia sosial. Ada hal-hal yang mesti kita viralkan, ada pula hal-hal yang mesti kita sembunyikan serapat mungkin dan kubur dalam-dalam. Sebab, semua itu kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt. Semoga kita senantiasa diberikan taufik untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah keburukan. Aaamiiin.