Teringat sebuah kalam dari Sayyidina Umar bin Khathab mengatakan:
مَتَى اسْتَعْبَدْتُم النَّاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُم أَحْرَارًا
Artinya: “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedang ibu-ibu mereka melahirkan mereka sebagai orang-orang yang merdeka.”
Syech Musthofa Al-Ghalayini dalam karyanya Idhatun Nasyi’in juga menyampaikan:
أَنَّ لِلأُمَمِ أَجَالًا وَأَجَلُ كُلِّ أمَّةٍ يَوْمَ تَفْقَدُ حُرِّيَّتُهَا
Artinya: “Setiap bangsa memilika ajal yang menjadi akhir (kematiannya), dan ajal setiap bangsa itu adalah ketika mereka kehilangan kemerdekaannya.”
Saudaraku rahimakumullâh
Saat ini kita berada di bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, yakni bulan Agustus. Disebutkan dalam pembukaan UUD 1945, atas berkat rahmat Allah rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Kemerdekaan kita bukanlah hadiah dari Belanda dan Jepang, tapi kemerdekaan ini ditebus oleh seluruh rakyat Indonesia dengan cucuran darah, keringat, dan air mata. Seluruh bangsa bersatu untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak pernah terpikirkan apakah istrinya akan menjadi janda, anaknya menjadi yatim.
Yang terpikir di benak para pahlawan hanyalah merdeka. Mari sejenak kita mengenang pahlawan bangsa ini, di seluruh penjuru Nusantara baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal.
Pahlawan adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, tak pernah terbersit dalam dirinya keuntungan apa yang akan mereka dapatkan, yang ada hanya semangat berkorban untuk yang lain, berjuang untuk bersama.
Saudaraku rahimakumullâh,
Mari kita mengingat kembali, kisah perang Ahzab atau perang Khandaq, perang yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Satu tahun setelah kemenangan yang diperoleh oleh kafir Quraisy dalam perang Uhud, mereka dan sekutu-sekutunya merencakan peperangan ke Madinah sehingga pecahlah kedua perang tersebut.
Perang demi membela diri dan mempertahankan keyakinan Tauhid dari gangguan kaum musyrikin. Pada kasus perang Khandaq, umat Islam didera sejumlah kesulitan karena jumlah pasukan relatif sedikit.
Karena kalah jumlah, Rasulullah SAW atas usul sahabat Salman Al-Farisi (Persia) membuat pertahanan berupa parit (Khandaq). Saat membuat parit, Rasulullah SAW ikut terjun langsung. Setelah berhari-hari membuat parit itulah, pasokan makanan di Madinah terus menipis, sehingga terjadi kelaparan. Untuk menghilangkan rasa lapar, sahabat-sahabat Rasulullah SAW mengganjal perut dengan batu.
Demi sebuah kemerdekaan mereka rela menahan lapar. Suatu saat ada seorang sahabat yang karena sudah tidak kuat dengan rasa lapar menghadap Rasulullah, “Ya Rasulullah, kami sudah mengganjal perut kami dengan satu batu, tapi kami tetap tidak kuat menahannya.” Rasulullah SAW tersenyum seraya memperlihatkan ikatan di perut Rasulullah SAW, ternyata sudah ada 2 batu terikat di perut beliau.
Sehingga saat para sahabat merasa lapar, Rasulullah SAW lebih lapar dari semuanya. Inilah jiwa pemimpin Rasulullah SAW, yang seolah saat ini sudah mulai jarang kita temukan dalam diri kita. Secara umum, yang dialami Rasulullah beserta sahabatnya itu merupakan contoh kecil tentang betapa mahalnya sebuah kemerdekaan: kemerdekaan untuk berkeyakinan, kemerdekaan untuk terpenuhinya kebutuhan dasar, dan kemerdekaan hidup tenang dan damai.
Untuk meraih itu semua, mereka rela mengorbankan segalanya, mulai dari tenaga, pikiran, fisik, hingga nyawa mereka. Demikian pula yang dilakukan para pahlawan bangsa Indonesia. Dalam sekala kecil, mungkin masih bisa kita miliki jiwa pengorbanan dalam diri kita.
Sebagaimana orang tua berkorban untuk anak-anaknya. Lantas, apakah kita masih rela dan mau berkorban untuk orang lain, orang-orang di sekitar kita?
Saudarku, mari kita hidupkan kembali jiwa kepahlawanan kita, keluarga kita, sahabat kita, dan masyarakat kita. Bangsa kita saat ini sedang dilanda krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan. Semua seolah diukur dengan kepentingan jangka pendek, sehingga politiklah yang menjadi panglima, keuntungan yang menjadi tujuan.
Kita yang terlalu picik dengan keadaan ataukah memang begitu adanya. Jika ada pemimpin di sekitar kita yang ingin memberikan contoh yang baik, kita sering berkata bahwa itu adalah pencintraan dan lain sebagainya.
Apakah karena jiwa kepahlawanan dalam diri masyarakat kita sudah demikian terkikisnya ataukah kepentingan sesaat kita menghilangkan semua penilaian positif kita. Ataukah jangan-jangan—dan ini yang paling kita takutkan—dikarenakan sedikit sekali orang yang baik, sehingga kalau ada orang baik dianggap sebagai pencitraan dan sejenisnya.
Membangunkan jiwa kepahlawanan dan kepedulian serta pengorbanan kepada diri sendiri mungkin tidak sulit, tapi membangunkan jiwa kepahlawanan dan kepedulian serta pengorbanan kepada keluarga dan masyarakat bisa luar biasa sulitnya.
Marilah sejenak kita kembali belajar sejarah tentang asbabun nuzul QS Al Ahzab: 28-30
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (28) وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا (29)
Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
Dan jika kamu sekalian menghendaki keridhoan Allah dan Rosulnya serta (kesenangan) dinegeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.”
Dalam Tafsir Ibnu ‘Ashur dijelaskan tentang latar belakang turunnya ayat tersebut. Saat Bani Quraidlah berhasil ditaklukan, kaum Muslimin mendapatkan harta ghanimah yang sangat banyak setelah sebelumnya Bani Nadhir, dengan hasil fai’ yang sangat banyak.
Istri-istri Rasulullah menganggap beliau berada dalam keadaan kelonggaran harta, maka kemudian istri-istri Nabi meminta nafkah lebih kepada Rasulullah SAW. Dan kemudian turunlah ayat tersebut yang menyindir istri-istri Nabi, apakah memilih kehidupan dunia atau kehidupan akhirat.
Belajar dari sejarah tersebut, seringkali kita bisa membangkitkan jiwa pengorbanan dan kepahlawanan dalam diri kita, akan tetapi belum tentu demikian dengan orang-orang dekat kita. Oleh karena itu, marilah kita isi kemerdekaan kita dengan membangkitkan gelora jiwa kepahlawanan, pengorbanan dan kepedulian untuk kebaikan bersama.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kepada negeri kita tercinta ini keberkahan kebaikan dengan momentum kemerdekaan 17 Agustus 1945.