Kita semua wajib mengetahui juga bahwa hakikat puasa adalah tidak hanya sekedar meninggalkan makan dan minum, akan tetapi Allah telah mensyari’atkan ibadah puasa ini untuk menghasilkan ketaqwaan.
Oleh karenanya puasa yang benar adalah puasa dari kemaksiatan dengan meninggalkannya, menjauhinya, menahan diri tidak melakukannya, ini merupakan puasa hati tidak hanya puasa fisik saja. Makna umum dan khusus dari hadits telah menunjukkan apa yang telah kami sampaikan, demikian juga bahwa pendapat para ulama juga telah menjelaskannya.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ) رواه البخاري 1804 (
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya”. (HR. Bukhari: 1804)
Dalam hadits lainnya disebutkan:
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ ) رواه أحمد، رقم 8693(
“Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja, dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. Ahmad: 8693 )
Para sahabat dan genarasi terdahulu dari umat ini mereka telah bersemangat untuk menjadikan puasa mereka menjadi pensuci diri dan fisik mereka, dan menjadi pembersih dari maksiat dan dosa.
Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- telah berkata:
“Puasa itu tidak hanya dari makan dan minum saja , akan tetapi juga (puasa) dari kedustaan, kebatilan dan kesia-siaan”.
Jabir bin Abdillah Al Anshori berkata:
“Jika kamu berpuasa, maka hendaklah berpuasa juga pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari kedustaan dan dosa. Dan jauhilah menyakiti pembantu, jadikanlah hari berpuasamu penuh ketundukan dan ketenangan, dan janganlah kamu jadikan hari fitri dan hari puasamu sama saja”.
Dari Hafshah binti Sirin –beliau adalah wanita alim dari kalangan tabiin- berkata:
“Puasa itu laksana benteng, selama pelakunya tidak merusaknya, dan perusaknya adalah ghibah”.
Dari Maimun bin Mahran berkata:
“Puasa yang paling mudah adalah meninggalkan makanan dan minuman”.
Setelah ini kami tidak heran kalau ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa puasa orang yang terjerumus ke dalam kemaksiatan adalah batal, meskipun pendapat yang benar adalah tidak membatalkan puasa, namun bisa dipastikan ketidaksempurnaan puasanya dan menyimpang dari hakekat puasanya.
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Ghibah itu membahayakan puasa. Telah dikisahkan dari ‘Aisyah dan menjadi pendapat Imam Auza’i juga berakata: “Sungguh ghibah itu membatalkan puasa, dan wajib mengqadha puasa pada hari tersebut.”
Sampai-sampai seorang sufi demi menjaga puasanya secara keras dia berkata kepada muridnya: “Setiap maksiat yang sengaja dilakukan oleh orang yang berpuasa membatalkan puasanya jika dia mengingat puasanya, baik berupa perbuatan maupun perkataan; berdasarkan keumuman sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
فلا يرفث ولا يجهل
“Tidak ada perkataan kotor dan bodoh”.
Dan berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lainnya:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh jika dia meninggalkan makan dan minumnya”.
(Fathul Baari: 4/104)
Salafus sholeh –rahimahullah- berkata:
“Adapun hal-hal yang diwajibkan kepada kita untuk berpuasa adalah –bisa jadi kalian akan merasa aneh jika saya mengatakan- : “Sungguh yang diwajibkan kepada kita untuk berpuasa darinya adalah puasa dari kemaksiatan, manusia wajib berpuasa dari seluruh kemaksiatan; karena inilah yang menjadi tujuan awal berpuasa, berdasarkan firman Allah –Tabaraka wa Ta’ala-:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ )سورة البقرة: 183)
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al Baqarah: 183)
Dia Allah tidak mengatakan: “Agar kalian merasa lapar !”, atau “Agar kalian merasa haus !”, atau “Agar kalian menahan diri dari (menggauli) istri !”, tidak; Dia berkata: “Agar kalian bertakwa”. Inilah tujuan utama dari puasa, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah merealisasikan hal itu dan menguatkan dengan sabdanya:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh jika dia meninggalkan makan dan minumnya”.
Jadi, bahwa manusia berpuasa dari kemaksiatan kepada Allah –‘azza wa jalla- merupakan puasa yang sebenarnya, adapun puasa yang dzahir adalah puasa dari semua yang membatalkan puasa. Menahan diri dari semua yang membatalkan puasa dalam rangka beribadah kepada Allah dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari, berdasarkan firman-Nya:
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْل (سورة البقرة: 187)
“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (QS. Al Baqarah: 187)
Inilah puasa yang kami katakan sebagai puasa zahir (fisik), puasanya tubuh saja. Adapun puasanya hati adalah tujuan yang utama yaitu puasa dari seluruh kemaksiatan kepada Allah –‘Azza wa Jalla-.
Atas dasar inilah maka, barangsiapa yang berpuasa dengan puasa zahir fisik saja, namun dia tidak berpuasa hati, maka puasanya sangat kurang. Kami tidak mengatakan puasanya batal, akan tetapi yang kami katakan puasanya kurang, sebagaimana yang kami katakan tentang shalat.
Tujuan dari shalat adalah khusyu’ dan merasa hina di hadapan Allah –‘Azza wa Jalla-, shalatnya hati sebelum shalatnya fisik. Namun jika seseorang shalat dengan fisiknya dan belum shalat dengan hatinya, seperti halnya jika hatinya berada di mana-mana, maka shalatnya sangat kurang, akan tetapi tetap sah secara zahir, sah tapi sangat kurang. Demikian juga berpuasa sangat kurang jika seseorang tidak berpuasa dari bermaksiat kepada Allah, akan tetapi tetap sah; karena ibadah di dunia dinilai secara zahir saja”.