Allah Ta’ala mengingatkan kita tentang adanya tiga rangkaian dosa yang bisa jadi kita terjatuh di dalamnya tanpa sadar. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 12)
Renungkanlah ayat ini, ketika Allah Ta’ala menyebutkan tiga rangkaian dosa, yaitu su’udzan (buruk sangka tanpa dasar), tajassus (berusaha mencari-cari keburukan orang lain) dan ghibah (menggunjingkan orang lain).
Orang yang memiliki sifat suka berburuk sangka kepada orang lain tanpa dasar, maka dia akan berusaha mencari-cari kesalahan dan keburukan saudaranya tersebut untuk mengecek dan membuktikan prasangkanya. Inilah yang disebut dengan tajassus. Sedangkan tajassus itu sendiri adalah pintu awal menuju dosa berikutnya, yaitu ghibah. Karena orang tersebut berusaha untuk menampakkan aib dan keburukan saudaranya yang berhasil dia cari-cari, meskipun dia berhasil mendapatkannya dengan susah payah.
Salafus Sholeh Rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Ketika buah dari su’udzan adalah tajassus, hati seseorang tidak akan merasa puas dengan hanya ber-su’udzan saja. Maka dia akan mencari-cari bukti (aib saudaranya tersebut) dan akan sibuk dengan tajassus. Allah Ta’ala menyebutkan larangan tajassus setelah su’udzan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Dan janganlah mencari-cari keburukan orang)
Sekali lagi, renungkanlah, ketika su’udzan tersebut diiringi dengan dua dosa besar lainnya, yaitu tajassus dan ghibah. Karena ketika seseorang sudah berburuk sangka kepada saudaranya, dia akan melakukan tajassus, yaitu dia mencari-cari bukti aib dan keburukan saudaranya tersebut untuk membuktikan prasangkanya. Dan jika dia sudah menemukannya, dia akan bersemangat untuk melakukan ghibah, alias menyebarkan keburukan saudaranya tersebut. Inilah urutan yang disebutkan dalam ayat di atas.
Dan disebutkan,
فإن بقاء ظن السوء بالقلب، لا يقتصر صاحبه على مجرد ذلك، بل لا يزال به، حتى يقول ما لا ينبغي، ويفعل ما لا ينبغي
“Sesungguhnya adanya su’udzan buruk sangka dalam hati tidak akan menyebabkan pelakunya tersebut akan berhenti di situ saja. Akan tetapi, buruk sangka tersebut akan terus-menerus ada sampai pelakunya tersebutberkata dan berbuat yang tidak sepatutnya.”
Maksud “berbuat yang tidak sepatutnya” adalah dengan melakukan tajassus, sedangkan maksud “berkata yang tidak sepatutnya” adalah dengan melakukan ghibah. Maka hal ini menjelaskan rahasia kerasnya syariat dalam melarang salah satu akhlak yang buruk ini, yaitu su’udzan (buruk sangka) kepada saudara sesama muslim.
Semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan hidayah dan Taufiq Nya.