Membicarakan nurulmusthofa tak terlepas dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq bin Umar bin Muslim ad-Dimasyqi Ash-Shan’ani (126-211 H/744-826 M), yang menceritakan kala sahabat Jabir bin Abdullah Al-Anshari RA bertanya kepada Rasulullah, “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, beritahukan lah kepadaku sesuatu yang pertama kali dicilptakan Allah sebelum yang lainnya."
Maka jawab Rasulullah, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan nur nabimu, Muhammad, dari nur-Nya, sebelum Dia menciptakan segala sesuatu.”
Sebagaimana yang dikemukakan Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitab Al-Anwar al-Muhammadiyyah, konsep Nur Muhammad itu memiliki dua sisi. Sisi pertama yaitu sebagai konsep makhluk yang pertama diciptakan, kemudian segala sesuatu tercipta darinya.
Sisi kedua dari sisi hakikat nur Muhammad yang Allah letakkan pada diri Nabi Adam As, kemudian berpindah kepada Siti Hawa, lalu kepada putranya, Syits AS, dan terus berpindah pindah kepada para nabi dan orang orang suci yang tak lain adalah para leluhur Nabi Muhammad Saw.
Banyak riwayat dan perjelasan dari para ulama yang mengisahkan perjalanan cahaya nan agung itu. Tulisan ini mencoba mengumpulkan nya, mulai dari keterangan awal penciptaannya hingga perpindahannya dari generasi ke generasi.
Kalau bukan karenanya…
Mengutip dari kelanjutan hadits diatas, desebutkan bahwasannya kemudian nur itu beredar haitsu sya Allah, dengan ketentuan yang dikehendaki Allah, saat itu, tidak ada sesuatu apapun lainnya yang ada. Tidak lauhil mahfuzh, al-qalam, surga dan neraka, para malaikat, tidak pula langit ataupun bumi. Tiada pula matahari, rembulan, bintang, jin, ataupun manusia. Belum ada sesuatu pun yang diciptakan, kecuali nur ini. Kemudian Allah dengan iradat-Nya, menghendaki adanya ciptaan.
Nur Muhammad itu sedemikian agung. Hingga disebutkan, bila bukan karena Nabi Muhammad saw, Allah tak akan menciptakan segala sesuatu. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits qudsi, “Kalau bukan karena engkau (Wahai Muhammad), sungguh Aku tak akan menciptakan alam semesta.”
Imam Suyuthi, dalam kitab Ad-Durarul Hisan fil Ba’tsi wa Na’imil Jinan Hamisy Daqa’iqul Akhbar, menuturkan bahwasanya nur Muhammad itu senantiasa bertasbih kepada Allah dengan diikuti oleh para malaikat dan arwah dialam malakut, puluhan ribu tahun sebelum wujudnya Adam As. Hal senada juga desebutkan oleh Ad-Diba’i dalam kitab Maulid-nya dengan mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas Ra.
Nur Muhammad dan sosok Muhammad Saw itu sendiri merupakan kesinambungan yang tak terpisahkan. Kedudukan nya sebagai seorang nabi telah ditahbiskan jauh hari sebelum kelahirannya. Syaikh Al-Barzanji melukiskannya dengan ungkapan “Beliau adalah nabi terakhir dalam wujud, namun nabi pertama secara maknawi”. Ungkapan itu sejalan dengan sebuah hadits yang dicantumkan oleh As-Suyuthi dalam Jami’ ash-Shagir –nya dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy dalam kitab Maulid-nya Simthud Durar, “Aku adalah nabi yang pertama dalam hal penciptaan, tapi yang terakhir dalam hal kebangkitan.”
Sementara itu pada kitab Adh-Dhiyaullami’ , Habib Umar bin Hafidz menampilkannya dalam sebuah dialog saat Rasulullah ditanya, “Sejak kapankah kenabianmu?”
Rasulullah saw menjawab, “Kenabianku sejak Adam masih berupa air dan tanah.” Dalam sebuah riwayat yang disebutkan As-Suyuthi, “…sejak Adam masih diantara ruh dan jasad.”
Kemudian, Allah menciptakan Adam As, manusia yang pertama kali ada dan menjadi nenek moyang seluruh umat manusia. Karenanya, ia dijuluki Abul Basyar (Bapak umat manusia). Namun Allah selalu memanggilnya dengan panggilan “Abu Muhammad”.
Lebih terperinci, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mengisahkannya dalam kitab As-Sirah An-Nabawiyah,“Bahwa sesungguhnya, setelah menciptakan Adam, Allah mengilhami Adam untuk bertanya kepada-Nya: Ya Allah, kenapa Engkau memanggilku dengan ‘Abu Muhammad?”
Maka Allah berfirman: Wahai Adam, angkatlah kepalamu.
Adam pun mengangkat kepalanya. Seketika itu Adam melihat nur Muhammad meliputi sekitar ‘Arsy. Kemudian Adam bertanya: Ya Allah, cahaya siapa ini”
Allah berfirman: ini adalah cahaya seorang nabi dari keturunanmu, di langit namanya Ahmad, di bumi namanya Muhammad. Kalau bukan karenanya, niscaya Aku tak akan menciptakanmu, langit, dan bumi,”
Bersanding dengan Asma-Nya
Selanjutnya, Allah menciptakan Siti Hawwa, dengan rupa yang sempurna dan paras sangat jelita dari tulang rusuk sebelah kiri Adam As. Dia mempersilahkan Adam As menikahi Siti Hawwa dengan mahar bersholawat kepada Nabi Muhammad Saw sebanyak tiga kali.
Imam Abdurrahman Ash-Shafuri Asy-Syafi’i dalam kitabnya Nuzhatul Majalis, menukil perkataan Imam Al-Kisa’i, menyebutkan, “Setelah menciptakan Nabi Adam As di surga, Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam As yang sebelah kiri. Ia menganugerahinya kecantikan luar biasa yang melebihi kecantikan 70 bidadari. Sehingga, bila dibanding kecantikan para bidadari surga ini, Hawwa laksana bulan purnama dikelilingi bintang bintang yang gemerlapan.
Saat Adam As terbangun dari tidurnya dan melihat Hawwa, ia hendak menyentuhnya. Namun terdengar seruan kepadanya. “Wahai Adam, engkau tidak diizinkan menyentuhnya sebelum engkau memberikan maharnya.”
Adam As bertanya: “Apakah maharnya?” terdengar seruan jawaban, ‘(Maharnya adalah) engkau mengucapkan sholawat kepada Muhammad sebanyak tiga kali.”
Setelah itu mereka pun diizinkan untuk bersenang senang di surga, yang sangat indah dan penuh kenikmatan. Disanalah Adam As dan Siti Hawwa selalu melihat nama Muhammad Saw terukir indah berdampingan dengan Asma Allah Swt.
Dalam kitabnya,Al-Hawi lil Fatawi, As-Suyuthi mengisahkan, “Sesungguhnya Adam As telah melihat disetiap tempat di surga, pada gedung gedungnya, dikamar kamarnya, dileher leher bidadari, di daun Thuba, di daun daun pepohonan Sidratil Muntaha, di ujung ujung benteng, dan disetiap dahi para malaikat, nama Muhammad saw senantiasa berdampingan dengan Asma Allah, yaitu pada kalimat “Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah.”
Suatu saat, Allah meletakkan nur Muhammad itu pada punggung (sulbi) Adam As. “Kemudian Allah meletakkan nur Muhammad dalam punggungnya (Adam As), sehingga para malaikat bersujud dan berbaris rapi dibelakang Adam, serta menghaturkan salam kepada nur Muhammad,” demikian As-Suyuthi mengisahkan.
Dengan demikian, sebagaimana Ibn Marzuqi mengomentari hal ini, secara lahiriyah Nabi Adam adalah perantara adanya nur Muhammad pada diri manusia. Sementara itu Imam Fakhruddin Al-Razi menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa para malaikat diperintahkan bersujud kepada Adam karena didalam diri Adam terdapat nur Muhammad, dan diperintah bersujud itu adalah sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana juga hal itu dijelaskan oleh Al-Imam Sahl bin Muhammad , yang dikutip oleh An-Nabhani dalam Al-Anwar Al-Muhammadiyah.
Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Madarijush Shu’ud mengisahkan , para malaikat senantiasa berbaris rapi dibelakang punggung Adam, ia heran dengan prebuatan para malaikat itu dan bertanya kepada Allah, “Ya Allah, kenapa para malaikat senantiasa berbaris dibelakangku?”
Allah menjawab, “Wahai Adam, ketahuilah olehmu bahwa para malaikat Ku senantiasa berdiri dibelakangmu karena memandang kepada nur kekasih Ku, Nabi Akhir Zaman, Muhammad Saw”
Adam As pun memohon kepada Allah kiranya nur itu diletakkan didepan nya, agar ia dapat berhadapan dengan para malaikat.
Maka Allah pun meletakkan nur itu di dahinya.
Kala itu Allah memerintahkan Iblis agar sujud kepada Nabi Adam As, namun ia membangkang kerena kesombonganya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 34, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam’, maka sujudlah mereka semua kecuali Iblis. Ia enggan dan takabur, dan sesungguhnya ia termasuk golongan yang kafir.”
Turun ke dunia
Karena termakan bujuk rayu Iblis yang terkutuk, Adam dan Siti Hawwa diturunkan kebumi oleh Allah. Dalam jangka waktu yang lama, mereka mengalami berbagai macam kesedihan dan penyesalan yang luar biasa. Berulang kali Adam memohon ampunan dan meratap kepada Allah , namun jawaban tak kunjung datang. Hingga akhirnya ia teringat kemuliaan dan keagungan derajat Nabi Muhammad disisi Allah, sehingga timbul harapan untuk memohon ampunan Nya dengan berwasilah kepada Nabi Muhammad.
Mengenai hal itu, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan menyampaikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, “Diriwayatkan dari Sayyidina Umar ibnul Khoththob RA bahwa Rasulullah saw bersabda: Manakala Adam As bermunajat kepada Allah, ‘YaAllah, demi haknya Muhammad di sisi Mu, limpahkanlah ampunan Mu kepada ku’, Allah bertanya, ‘Bagaimana kamu mengetahui (kedudukan) Muhammad, sedang Aku belum menciptakannya?’
Maka jawab Adam, ‘Ya Tuhanku, Engkau telah menciptakanku dengan tanpa perantara ayah dan ibu, Engkau tiupkan ruh kepada diriku, lalu Engkau angkat kepalaku, maka aku melihat tiang tiang Arasy bertuliskan kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah (Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Aku yakin, tidaklah Engkau mempersandingkan seseorang pada nama Mu melainkan sosok yang paling Engkau cintai.’
Allah pun berfirman, ‘Kau benar, wahai Adam. Sesungguhnya dia (Muhammad) adalah makhluk yang paling Kucintai. Jika engkau meminta kepada-Ku dengan haknya, pasti Aku mengampunimu. Dan jika bukan karena Muhammad, niscaya Aku tak akan menciptakanmu.”
Maka, ia pun kembali dipertemukan dengan Siti Hawwa, setelah lebih dari seratus tahun lamanya keduanya terpisah, berada di belahan bumi yang berbeda. Lalu ia juga diangkat menjadi salah seorang nabi dan rasul, dengan sepuluh shahifah (lembaran) wahyu yang diturunkan kepadanya.
Janji Suci
Kemudian, An-Nabhani melanjutkan kisahnya dalam kitab Hujjatullah ‘alal Alamin yaitu ketika pada suatu saat, “…Adam As mendengar suara dari dalam dahinya seperti suara kicauan burung. Ia merasa heran dan lantas berkata, ‘Subhaanallah, sungguh sangat agung kekuasaan Mu, suara apakah ini ya Allah?”
Allah berfirman , ‘Wahai Adam, (suara itu adalah) tasbih penutup para nabi dan penghulu seluruh anak keturunanmu.’
Nur itu selalu terlihat bersinar kemilauan pada wajah Adam as. Allah kemudian mengambil sumpah (perjanjian) kepada Adam agar ia menjaga nur tersebut “Wahai Adam, berjanjilah (kepada Ku) untuk senantiasa memelihara nur tersebut dengan tiada meletakkannya kecuali kepada sulbi-sulbi yang suci dan mulia.”
Adam menerima dengan senang hati amanah tersebut. Ia bahkan bangga melaksanakan amanah itu, serta terus menjaganya dan mewasiatkan amanah tersebut kepada para anak-cucunya kelak.
Selain kepada pribadi pribadi suci yang beroleh anugerah atas bersemayamnya nur Muhammad dalam diri diri mereka, Allah juga mewasiatkan kepada segenap nabi dan rasul agar selalu membesarkan kemuliaan Nabi Muhammad saw disisi Allah dengan senantiasa berdzikir mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rosulullah, dan bersiap menjadi pembela setianya manakala suatu saat berjumpa dengan Nabi Muhammad.
Mengutip dari sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ali Kw, wasiat Allah itu merupakan bentuk kesaksian yang telah ada pada saat mereka (para nabi) masih berada di alam ruh. Disebutkan, ruh para nabi itu tenggelam dalam nur Muhammad dan mereka berteriak, “Ya Allah, siapa yang menyelimuti kami dengan cahaya?”
Allah menjawab, “Ini adalah cahaya Muhammad, Kekasih-Ku…”
Saat itu, ruh para nabi menyatakan beriman kepada kenabiannya dan Allah berfirman, “Aku menjadi saksi terhadap pengakuanmu ini.” Sebagaimana disebutkan didalam Al-Quran surat Al Imran ayat 81, “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada mu, niscaya kamu akan sungguh sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.’
Allah berfirman, ‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian Ku terhadap yang demikian itu?’
Mereka menjawab, ‘Kami mengakui’.
Allah berfirman, ‘Kalau begitu saksikanlah (lihat para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.”
Begitu pula dalam surat Ash-Shaf ayat 6, “Dan (ingatlah) ketika Isa ibn Maryam berkata, ‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”
Diantara bait bait indah pada qashidah Burdah, juga terdapat sebuah baitnya yang menyiratkan pujian indah kepada Nabi saw sekaligus makna yang serupa dengan pembahasan diatas, “Ia laksanan matahari, dan nabi nabi bagaikan gemintang. Bintang mengerdipkan mata di malam buta (selagi mentari belum menyinarkan cahaya).
Diantara Orang – orang Pilihan
Adam sangat menjaga kemuliaan nur nan agung itu. Sehingga, bila hendak mendekati Siti Hawwa, ia bersuci terlebih dahulu dan memakai wewangian, lalu memerintahkan Siti Hawwa untuk melakukan hal serupa, seraya mengatakan, “Wahai istriku, bersucilah dan pakailah wewangian. Sesungguhnya sudah dekat saatnya nur Muhammad Saw yang berada dalam diriku akan berpindah ke dalam dirimu.”
Sampai suatu hari nur tersebut telah berpindah dari diri Adam kepada Siti Hawwa. Lantaran nur tersebut, Siti Hawwa pun terlihat semakin bertambah kecantikannya setiap hari. Wajahnya semakin bersinar dan berseri seri.
Sejak saat itu, Adam As tidak berhubungan dengan Siti Hawwa, demi memuliakan nur Muhammad yang berada dalam diri Siti Hawwa. Para malaikat berduyun duyun turun ke bumi semata mata hanya untuk menghaturkan salam sejahtera dari Allah kepada nur Muhammad.
Setelah melahirkan hingga 38 putra dari 19 kali kehamilannya, dimana setiap kali melahirkan bayinya selalu kembar dua, laki laki dan perempuan, akhirnya Siti Hawwa melahirkan putra bungsunya yang diberi nama Syits, sebagai putranya yang ke-39 dan tidak memiliki saudara kembar. Dikatakan, makna Syits dalam bahasa Arab adalah Hibatullah, atau ‘anugerah Allah’
Nabi Adam pun wafat, setelah usianya mencapai lebih dari 1000 tahun, sementara itu, Ibn Abbas Ra menerangkan , “Tidaklah Adam As wafat kecuali setelah ia melihat putranya dan putra dari putranya hingga 40.000 orang. Ia wafat di India, di sebuah gunung yang disebut Nuda. Ketika terjadi badai topan dan air bah di zaman Nuh As, tabut makamnya bibawa didalam kapal oleh Nabi Nuh As. Setelah mereda, Nabi Nuh memakamkannya di Baitul Maqdis (Palestina).” Sementara Siti Hawwa wafat setahun setelah wafatnya Nabi Adam. Jasadnya dimakamkan di kota Jeddah.
Dalam kitab Ash-Sharhul Mumarrad wa Al-Fakhrul Muabbad, Sayyid Umar bin Alwi Al-Kaf. Seorang ulama Hadhramaut yang juga seorang sejarawan dan ahli nasab, menggambarkan Syits As sebagai putra Nabi Adam yang paling mulia, paling elok , dan paling utama diantara saudara-saudaranya, dan juga yang paling mirip serta paling dicintai ayahnya. Ia diangkat sebagai seorang Nabi dan rasul dengan 50 shahifah wahyu Allah yang diturunkan kepadanya. Dari ayah nya, nur Muhammad berpindah kepadanya.
As-Suyuthi mengisahkan dalam Al-Hawi lil Fatawi,sebelum wafat, nabi Adam memanggil sang putra dan mewasiatinya, “Wahai anakku, sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian kepada mu untuk senantiasa menjaga keagungan nur ini yang telah diletakkan dalam dirimu. Karenanya, janganlah kau meletakkannya kecuali kepada thahirah (wanita suci).” Nabi Adam juga mewasiatkan kepada nya agar senantiasa membesarkan kemuliaan Nabi Muhammad didalam jiwanya serta senantiasa berdzikir dengan kalimat Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah.
Selama 912 tahun atau dikatakan pula 1012 tahun kehidupannya, Nabi Syits As memegang teguh amanah tersebut dan kemudian menikah dengan seorang wanita suci bernama Baidha’. Seluruh manusia zaman sekarang ini bernasabkan kepadanya, yaitu setelah seluruh keturunan saudara saudaranya yang lain menjadi korban dalam peristiwa banjir besar di zaman Nabi Nuh As.
Dikisahkan, Syits As dianugerahi oleh Allah beberapa putra. Putranya yang beruntung mendapatkan limpahan nur Muhammad adalah yang bernama Anusy. Syits As lalu meneruskan wasiat ayahnya kepada putranya tersebut agar tidak meletakkan nur nan agung itu kecuali kepada wainita yang suci.
Putra Nabi Syits melakukan hal yang sama, yaitu mewasiatkan agar menjaga kemuliaan nur agung ini secara turun termurun, hingga nur itu berada pada generasi kelima dari keturunannya , Idris As. Para sejarawan menyebutkan, nama sebenarnya adalah Uknun, adapula yang mengatakan Khunun. Ia dinamakan ‘Idris’ lantaran banyak menelaah (darasa,dalam bahasa Arab) shuhuf atau lembaran lembaran wahyu Allah. Kepadanya Allah menurunkan wahyu sebanyak tiga puluh shahifah.
Nabi Idris as hidup selama 350 tahun, atau ada yang mengatakan 365 tahun. Setelah itu, Allah mengangkatnya ke langit. Sebelum diangkat ke langit, sebagaimana ia telah menerima wasiat dari orang tuanya dulu, ia mewasiatkan hal yang sama kepada putranya yang terpilih, Mutawasylikh, untuk senantiasa memelihara nur Muhammad.
Hingga kemudian , sampailah nur itu kepada cicit Nabi Idris As, yaitu Nuh As, orang pertama yang yang mendapatkan kenabian setelah Idris as. Syari’at yang dibawa oleh nabi Nuh As menggantikan syari’at Nabi Adam as, moyangnya.
Nama sebenarnya adalah Abdul Ghaffar. Dalam kitabAsh-Sharh al-Mumarrad, karya Sayyid Umar bin Alwi Al-Kaf, ia digelari ‘Nuh’, likatsrati ma naha ala nafsihi,lantaran banyaknya ia merintih. Adapun sebab rintihannya tersebut adalah kerena ia mendoakan kebinasaan kepada kaumnya, sementara pada sisi lain ia selalu berharap kepada Allah untuk menyadarkan putranya, Kan’an, yang masih saja menolak dakwahnya.
Diriwayatkan, Nabi Nuh As hidup selama 1000 tahun atau lebih, dan 950 tahun dari kehidupannya diisinya dengan berdakwah, mengajak umat agar menyembah Allah. Setelah wafat, jasadnya dimakamkan di suatu tempat bernama Kark.
Ia memiliki beberapa putra, diantaranya Kan’an, yang akhirnya tetap memilih bisikan hawa nafsunya dibandingkan menerima ajaran tauhid yang dibawa ayahnya. Sehingga, Kan’an akhirnya tenggelam oleh azab air bah yang maha dahsyat.
Putra Nabi Nuh As lainnya yang bernama Sam mendapat keberuntungan karena diantara dua saudara nya yang lain, Ham dan Yafits, nur Muhammad berpindah kepadanya. Sejumlah catatan sejarah mengatakan, Sam bin Nuh As ini termasuk salah seoran nabi. Demikian antara lain yang diinformasikan dalam kitab Bahjul Mahafil, karya Asy-Syaikh Al-‘Amiri.
Silsilah mata rantai nur agung itu terus berpindah pada beberapa sosok pribadi yang suci hingga bersemayam dalam sulbi nabi Hud As. Dalam Asy-Syajarah Al-‘Alawiyyah, karya Al-Allamah As-Sayyid Abdurrahman Al-Masyhur, dituliskan bahwa nama sebenarnya adalah ‘Abir. Sementara itu seorang sejarawan ternama, Al-‘Iraqi, menyebutnya ‘Aybar. Nabi Hud As adalah seorang nabi dan rasul yang diutus untuk kaum ‘Ad, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran surat Al-A’raf ayat 65, “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka, Hud.”
Ketika Allah membinasakan kaum ‘Ad karena kemunkaran yang mereka lakukan, Nabi Hud As pindah ke negeri Hadhramaut, dan menghabiskan sisa hidupnya di sana hingga wafatnya dalam usia 472 tahun. Di atas makamnya didirikan sebuah qubah. Sejak dahulu hingga sekarang ini , kalangan Alawiyyin dan lainnya pada setiap bulan Sya’ban berziarah secara beramai ramai ke makamnya.
Dari Nabi Hud as, nur itu berpindah kepada puteranya yang bernama Falikh, yang tak lain adalah kakek Nabi Khidhir As (asalnya bernama Balya bin Mulkan)
Misteri Ayah Ibrahim As
Maka setelah melewati beberapa generasi, sampailah nur agung itu pada diri Nabi Ibrahim As. “Allah Azza wa jalla menurunkan nya kebumi melalui punggung (sulbi) Nabi Adam, lalu Allah membawa nya kedalam kapal dalam tulang sulbi nabi Nuh, kemudian menjadikannya berada dalam tulang sulbi sang kekasih, Nabi Ibrahim, ketika ia dilemparkan ke dalam api.” Demikian Ad-Diba’i menggambarkan secara singkat penjelasan nur Muhammad dari Nabi Adam As hingga nabi Ibrahim As.
Ibrahim adalah nama dalam bahasa Suryani, dalam bahasa Arab maknanya ‘seorang bapak yang penuh kasih sayang’. Demikian Imam Nawawi menyebutkan dalam kitab Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat.
Nabi Ibrahim As adalah salah seorang lima nabi dan rasul yang Ulul ‘Azmi, artinya yang memiliki kesabaran yang luar biasa dalam dakwahnya. Ia memiliki gelarKhalilullah, Kekasih Allah. Allah menurunkan 20 shahifah wahyu kepadanya.
Dalam qashidah Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Habibullah Asy-Syinqithi, disebutkan bahwa nabi Ibrahim As adalah pangkal seluruh nasab para nabi, kecuali delapan nabi yang tidak dinasabkan kepadanya, yaitu Adam As, Syits As , Idris, Nuh, Hud (mereka semua adalah leluhur Nabi Ibrahim sendiri), Yunus As, Luth As dan Shalih As. Oleh karenanya ia digelari “Bapak para Nabi dan Rasul”
Terkait dengan kehidupan nabi Ibrahim, dan kisah perjalanan nur agung ini, ada satu hal yang menarik dicermati. Sebagaimana diketahui , seluruh mata rantai silsilah Rasulullah Saw adalah pribadi pribadi mulia, suci, dan terhormat. Tidak satupun diantara leluhur Rasulullah saw (para pengemban amanah nur Muhammad dalam diri mereka) memiliki aqidah yang bergeser dari ajaran tauhid. Dari sini lah kemudian timbul pertanyaan tentang posisi Azar, yang dalam sejarah dikenal sebagai seorang penyembah berhala, sementara dia adalah ayah nabin Ibrahim As, yang notabene juga berarti nenek moyang Rasulullah saw.
Dalam kitab Ash-Sharhul Mumarrad disebutkan, ayah Nabi ibrahim As bernama Tarah, dalam bahasa Arab disebut Azar. Sebagian lainnya mengatakan bahwa Tarah adalah ayah Nabi ibrahim, sedangkan Azar adalah paman Nabi Ibrahim As. Sebutan ayah Ibrahim yang disematkan kepada Azar disebabkan oleh kebiasaan masyarakat Arab yang sering menyebut seorang ‘am(paman) dengan kata ab (ayah). Versi pendapat ini lebih dekat dengan apa yang disebutkan oleh para ulama bahwa seluruh nenek moyang nabi Muhammad adalah mukmin.
Sementara itu ada pula yang mengatakan bahwa Azar adalah ayah Nabi Ibrahim, dan Tarah adalah kakeknya, sehingga bila dirangkai menjadi Ibrahim bin Azar bin Tarah.
Betapapun, pendapat yang mengatakan Azar adalah ayah Nabi Ibrahim As memang cukup dikenal luas, seperti halnya tertulis dalam kitab Asy-Syajarah Al-Alawiyyah. demikian pula keterangan yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq dan Adh-Dhahhak.
Mengenai hal itu, Syaikh Nawawi Al-Bantani menuliskan pendapat ulama dalam kitab Tafsir Munir-nya,”Dan Allah memandang engkau (Nabi Muhammad) berpindah pindah dari sulbi-sulbi mukmin dan rahim rahim mukminah dari sejak Nabi Adam As dan Siti Hawwa sampai dengan kepada Sayyidina Abdullah dan Siti Aminah. Maka semua leluhur Nabi Muhammad saw, baik laki laki maupun perempuan, adalah orang orang yang beriman. Mereka tidak dimasuki kemusyrikan selama nur Muhammad berada dalam diri mereka. Apabila nur itu berpindah darinya kepada orang setelahnya, mungkin orang tersebut menyembah selain Allah. Dan Azar tidak menyembah berhala berhala kecuali setelah nur itu berpindah kepada Nabi Ibrahim As. Adapun sebelum berpindah nya nur Muhammad kepada nabi Ibrahim as, Azar menyembah Allah.
Nabi Ibrahim wafat dalam usia 175 tahun, riwayat lainnya mengatakan 200 tahun, dan kemudian dimakamkan di Hebron, Palestina. Darinya, cahaya nan agung itu berlabuh kepada sang putra, Nabi Isma’il As.
Dikisahkan, ketika Ibrahim As lama tak mempunyai anak, ia berdoa kepada Allah dalam bahasa Suryani dengan mengatakan, “Isma’ Iyl.” (dengarkanlah, wahai Iyl). Dalam bahasa Arab, makna Iyl adalah Allah. Maka ketika ia diberi anak dari istri keduanya, Siti Hajar, diberinyalah nama “Isma’il”. Pendapat lain mengatakan, dalam bahasa Arab Ismail bermakna muthi’ullah, atau “pemberian Allah”
Sekitar 14 tahun setelah kelahiran Isma’il As, lahirlah anak Nabi Ibrahim As dari istri pertamanya, Siti Sarah, yaitu Ishaq As, nenek moyang Bani Israil.
Kelak Datang Pemimpin Umat
Demikianlah, nur agung ini senantiasa berpindah dari ayah yang mulia dan ibu nan suci, dengan ikatan pernikahan sesuai dengan syari’at pernikahan yang telah digariskan Allah. “Tak henti hentinya Allah, Yang Maha Perkasa dan Maha Agung, memindahkan nya dari rangkaian tulang sulbi yang mulia dan melewati rahim rahim yang suci, hingga akhirnya Allah melahirkannya melalui kedua orangtuanya yang sama sekali tidak pernah berbuat serong,” Ad-Diba’i melanjutkan keterangannya.
Perjalanan nur Muhammad memang tidak selalu melewati seluruh nabi dan rasul yang ada. Namun demikian, seluruh nabi dan rasul mendapatkan manfaat dari cahaya agung tersebut. Seorang ulama, Ibn Marzuqi, sebagaimana dikutip An-Nabhani dalam Al-Anwar al-Muhammadiyah, mengatakan bahwa pada diri setiap nabi terdapat mukjizat dan setiap mukjizat selalu harus berhubungan dengan nur Muhammad. Al-Bushiri mengungkapkannya dalam Al-Burdah:
Segala mu’jizat dari rasul-rasul sebelumnya
Senantiasa terkait dengan pancaran cahaya Rasulullah SAW pada mereka
Hingga pada suatu saat, nur itu pun akhirnya sampai kepada keturunan Isma’il As yang bernama ‘Adnan, salah seorang datuk Rasulullah Saw.
‘Adnan hidup pada masa nabi Musa As dan hingga kepada namanyalah kepastian susunan nama dalam nasab Rasulullah saw dapat dipastikan. Dalam hal ini, para sejarawan tidak berselisih pendapat. Sementara, untuk nama nama dari ‘Adnan sampai dengan Nabi Isma’il As maupun jumlah nama diantara ‘Adnan dan Nabi Isma’il, terdapat khilaf didalamnya. Adapun mengenai keyakinan yang dianut, seluruh leluhur Rasulullah saw hingga kepada Nabi Isma’il as mengikut kepada syari’at Nabi Ibrahim as.
Mengenai sosok ‘Adnan, ada yang mengatakan, ia adalah orang yang pertama kali menyelimuti kiswah pada ka’bah.
Nama ‘Adnan diambil dari kata al-‘adn, semakna denganiqamah. Dalam kitab Ash-Sharh al-Mumarrad disebutkan, ia dinamakan demikian, li annaLlaha Subhanahu wa Ta’ala aqama malaikatan lihifzhihi, karena Allah memerintahkan malaikat untuk melindunginya. Hal itu dikarenakan mata para jin dan manusia sangat memperhatikannya dan bermaksud membunuhnya, hingga mereka yang bermaksud jahat itu berkata, “Seandainya kita membiarkan ia hidup, suatu hari nanti akan keluar dari nya seseorang yang memimpin umat manusia”.