Salah satu wasiat Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa: “Jika aku wafat mendahului kalian, kutitipkan perjuangan dakwah sang Nabi Saw. pada kalian, kita akan abadi bersama dalam kebahagiaan kelak insya Allah tanpa ada perpisahan.”
“Habib Ismail Fajrie Alattas Berkisah Tentang Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa”
Saya mengenal Habib Mundzir kira-kira akhir tahun 1998. Waktu itu beliau baru kembali ke tanah air setelah beberapa tahun mondok di Hadhramaut. Kala itu, kalangan habaib dan kyai di Jawa tercengang dengan kembalinya kurang lebih 40 anak Indonesia yang baru kembali dari Hadhramaut.
Ke 40 pemuda tersebut adalah murid dari Habib Umar bin Hafidz, seorang ulama muda (kelahiran 1962) yang namanya tengah melejit. Habib Umar pertamakali dikenal di Indonesia tahun 1993, ketika beliau datang ke Jawa atas undangan Habib Anis al-Habsyi Solo.
Pada kunjungan tersebut, banyak habaib dan kyai yang mengagumi ilmu dan kemampuan retorika Habib Umar. Akhirnya setelah kurang lebih sebulan di Indonesia, Habib Umar kembali ke Hadhramaut membawa 40 murid, salah satunya Habib Mundzir.
Kala itu, keadaan di Hadhramaut serba kekurangan. Yaman Selatan baru bersatu dengan Yaman Utara. Banyak masyarakat yang berharap. Setelah lebih dari 2 dekade di bawah rezim komunis, Yaman Selatan akhirnya kembali mencicipi kebebasan. Madrasah-madrasah yang dahulu ditutup paksa oleh rezim komunis kini terbuka kembali. Di bawah rezim komunis, banyak ulama yang dibunuh dan diculik, salah satunya ayah Habib Umar, Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz. Setelah bersatunya Yaman, ulama-ulama yang dahulu terusir dari tanah airnya, kini kembali menyemarakkan majelis-majelis ilmiah di Hadhramaut.
Para pemuda, seperti Habib Umar yang memiliki kegelisahan, akhirnya mampu mengekspresikan ilmu dan keberagamaan mereka secara bebas. Mereka ingin mengembalikan kembali semangat keagamaan yang damai, toleran, berbasis Ahlussunnah wal Jama’ah dan tasawwuf ke Hadhramaut.
Di saat yang sama, mereka menghadapi kaum Salafi-Wahabi yang kala itu digunakan oleh pemerintahan Yaman Utara untuk merongrong Yaman Selatan. Jadi, bagi para ulama termasuk Habib Umar, tantangannya adalah bagaimana membangun kembali kehidupan beragama yang damai. Bagaimana menjaga paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) di tengah rongrongan Salafi-Wahabi dan sisa-sisa paham komunisme di Yaman Selatan.
Maka dalam konteks yang demikian, dibukalah kembali institusi-institusi pendidikan tradisional, seperti Rubath Tarim yang telah sekian lama ditutup. Itulah konteks Hadhramaut ketika Habib Umar kembali membawa 40 pemuda Indonesia.
Sebagai seorang yang belum dikenal, Habib Umar tidak memiliki madrasah atau pesantren. Ia harus mendidik 40 anak tersebut sendiri. Maka disewalah rumah tempat tinggal 40 anak tersebut. Setiap hari Habib Umar megajarkan mereka ilmu dan amalan pembersihan hati. Tak ada institusi formal, tak ada asisten dosen, tak ada kemewahan. 40 anak tersebut ditempa dan diasuh langsung oleh Habib Umar.
Semangat keberagamaan gegap gempita di atas tumpukan sejarah masa kelam rezim komunis. Semangat keberagamaan menguat, untuk menghadapi golongan Salafi-Wahabi eks-Afghanistan yang ditopang oleh pemerintah Yaman Utara. Maka beruntunglah 40 pemuda tersebut, diasuh dan dididik dengan penuh semangat dan optimisme akan hari depan yang lebih cerah.
Belum genap setahun 40 anak Indonesia di Hadhramaut, pecahlah perang saudara antara Yaman Selatan dan Utara. Habib Umar merasa bertanggung jawab untuk melindungi ke-40 anak yang telah dititipkan kepadanya oleh orang tua mereka.
Keadaan sangat buruk. Listrik mati. Tak ada makanan. Ke-40 anak tersebut terpaksa makan roti dengan lauk sambal. Hidup dalam kancah peperangan sangat sulit.
Namun di tengah kesengsaraan, sang guru tetap mengajarkan mereka pilar-pilar Aswaja. Membersihkan jiwa mereka dengan segenap dzikir. Sampai akhirnya perang berakhir dan kembai ke Indonesia pada tahun 1998. 40 anak Indonesia tersebutlah yang menjadi embrio terbentuknya pesantren Darul Musthafa yang hingga kini diasuh Habib Umar.
Sekarang, pesantren Darul Musthafa menjadi salah satu tujuan favorit para penuntut ilmu dari seluruh dunia, termasuk AS dan Inggris. Tak ada yang menyangka sebuah kunjungan ke Solo tahun 1993 berujung pada berdirinya salah satu pusat keilmuan Islam tradisional dunia.
Ketika 40 pemuda tersebut kembali ke Indonesia, mereka langsung menempati posisi-posisi bergengsi dalam gerakan dakwah dan ilmu. Kebanyakan dari mereka adalah anak habaib atau kyai berpengaruh. Saat mereka kembali, mereka menjadi pemimpin di institusi masing-masing. Sebagian lagi ada yang diambil menantu oleh habaib dan kyai yang berpengaruh.
Habib Mundzir adalah kasus yg unik. Beliau bukan anak ulama. Ayahnya jurnalis lulusan New York University. Ia tidak memiliki pesantren dan tidak memiliki tempat bernaung. Beberapa tahun pertama, Habib Alawi al-Aydrus memintanya untuk mengasuh majelis taklim di Cipayung. Tapi sepertinya ada kegelisahan dalam diri Habib Mundzir. Ia seperti tidak memiliki tempat untuk berkiprah.
Tempat-tempat prestisius dalam gerakan dan institusi dakwah telah diisi oleh anggota keluarga masing-masing. Seorang habib tanpa trah keulamaan yang kuat seperti dirinya seakan disisihkan oleh mereka yang telah memiliki tempat yang kokoh. Realitas demikian banyak terjadi di Indonesia. Seorang cerdas kembali ke tanah air dan tak mendapatkan tempat.
Namun justru realita dakwah yang demikian, dengan mafia-mafia dakwahnya, membentuk figur Habib Mundzir yang siap mendobrak tatanan dakwah di Jakarta.
Saya ingat beliau cerita di kantornya di Tebet: “Dakwah adalah kewajiban kita semua, bukan hanya untuk anak kyai dan habib kondang.”
Akhirnya Habib Mundzir meninggalkan Cipayung dan mulai mengajar dari rumah ke rumah di kawasan Pasar Minggu dan Kalibata, Jakarta Selatan. Beliau membangun majelis kecil-kecilan tanpa tempat. Berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Dan akhirnya sebuah masjid di Pancoran membuka pintunya untuk majelis Habib Mundzir. Maka terbentuklah Majelis Rasulullah.
Sesuatu yang dikerjakan secara serius dan telaten, akhirnya membuahkan hasil. Lambat laun jamaah beliau tambah banyak.
Habib Mundzir mencoba membuka pintu dakwah agar pelbagai kalangan dapat ikut masuk, khususnya kaum pemuda ibukota. Dalam berdakwah beliau mencoba mencari jalan tengah dan persamaan, ketimbang membangun kebencian dan permusuhan. Sampai-sampai, beliau lebih suka menggunakan kitab Shahih Bukhari dalam pengajiannya, karena kitab tersebut diterima oleh semua kalangan. Beliau menyuguhkan jangkar pada pemuda ibukota yang terombang-ambing di tengah derasnya arus perubahan ibukota.
Melalui solidaritas yang dipupuk dalam majelis-majelis beliau, pemuda ibukota yang sebelumnya bingung ke mana melangkah, mendapatkan pemaknaan. Banyak pengikut Habib Mundzir bukan berasal dari background Nahdliyin (NU). Kadang mereka kerap mengkritik beliau. Namun beliau dengan sabar menjawab dan berkaca. Beliau menggunakan media internet untuk berkomunikasi dengan pengikut beliau.
Bagi Habib Mundzir sepertinya dakwah harus menjemput bola. Ulama harus proaktif mengikuti perkembangan zaman dan perubahan masa. Beliau bercerita pada saya bagaimana beliau rela mengikuti kritikan sebagian pengikutnya, agar mereka masih mau tetap belajar. Pada figur Habib Mundzir kita menemukan seorang da’i yang siap menuruti kehendak ummatnya, selama itu baik, ketimbang selalu minta diikuti.
Pada akhirnya, Habib Mundzir mengajarkan pada kita bahwa dakwah bukanlah milik segelintir individu mapan. Dakwah adalah proyek bersama. Kita semua harus berdakwah, bukan hanya anak-anak para ulama dan pembesar agama. Anak-anak muda yang tidak dari kalangan pesantren juga turut serta. Anak muda ibukota, kaya-miskin, terdidik-tidak terdidik, semua dapat ikut serta menjaga panji Rasul Saw.
Habib Mundzir mengajarkan pada kita bahwa mengikuti Sang Kekasih Saw. tidak berarti kita harus bersikap keras dan intoleran. Justru dengan lemah lembut, santun dan dengan budi pekerti yang baik, kita akan dapat menjadi duta duta Sang Kekasih Saw. untuk ummat manusia.
Saya ingat ketika ribut-ribut masalah Ahmadiyah, Habib Mundzir meminta pengikutnya untuk tidak ikut-ikutan demo dan huru hara anti-Ahmadiyyah. Bagi beliau, cara menghadapi Ahmadiyah yang paling baik adalah memperkuat aqidah dan amaliyah Aswaja, bukan dengan cara-cara reaksioner. Tumbuhkan rasa cinta ummat kepada Sang Kekasih Saw., maka semuanya akan terbangun dan tertata rapi. Begitu sepertinya formula Habib Mundzir. Memutuskan tali cinta ummat kepada Sang Kekasih akan menghancurkan ummat.
Akhirnya, semoga Tuhan meliputi hati kita dengan cinta kepada Sang Kekasih Saw. Semoga Tuhan membalas amal dan kerja keras Habib Mundzir dengan sebaik-baik balasan. Dan semoga kelak kita semua dikumpulkan dengan Sang Kekasih.
Demikianlah sedikit kenangan saya tentang Habib Mundzir. Sekali lagi saya turut berduka cita kepada seluruh umat Islam atas musibah ini. Saya tidak hanya kehilangan seorang kawan dan saudara. Saya kehilangan seorang sosok yang saya kagumi. Demikianlah yang bisa saya sampaikan tentang sosok Habib Mundzir. Kurang lebihnya mohon maaf.
(Habib Ismail Fajrie Alattas (sang penulis) adalah seorang habib muda yang menekuni tasawuf, filsafat, sastra dan musik. Saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di bidang antropologi dan sejarah di University of Michigan, Amerika).
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 16 September 2013