In Memorian, The Smiling Habib, (Al-Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi)
Habib
Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928. Ayah
beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah
Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo.
Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di
kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.
Sejak
kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di
madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada
usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf,
setahun kemudian lahirlah Habib Ali.
Tepat
pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi
yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau
menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang berpakaian tua”.
Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan
haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari
pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan
sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.
Pada
waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di
pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun
ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan
batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.
Dari
perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam
putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib
Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar
Gurawan.
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam
sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa
halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang
sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta
berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.
Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.
Habib
Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping
semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu
tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua
diperlakukan dengan hormat.
Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman
(pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan
Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat
sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang
lain apalagi membuatnya marah”.
Saat
‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata
melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non
Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika
ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib
Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi.
Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat
Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang sedekah
dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga sering
memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim maupun
non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum masuk
islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk islam.”
Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan salah
seorang puteranya.
Meskipun
Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun
kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir disampaikan
oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein Mulachela
keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib Anis dia
dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru keesok harinya
datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta. Selama semalam
menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di
kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak
wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”
Dalam
salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini kkita
sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu Nabi
Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah meningalkan
kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis bin alwi
bin Ali Al-Habsyi.
Ketika
kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak
seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi
Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid
Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah,
taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada
orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti
para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar yang
mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah
tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari
diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di surga. Dan
mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh cobaan.
Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam
berbagai kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan
menentramkan, sehingga sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan
bahwa kita hidup di dunia yang fana ketika menyaksikan bahwa beliau
meninggal dunia. Namun begitu, kenangan beliau tetap terbayang di mata
kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.
Habib
AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau,
mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka
meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang biasa
mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami sedih
dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya menimpa
orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan hidup oleh
Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan aku rindu
kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah mereka. Aku
akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti jalan hidup
para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan leluhurku.”
Habib
Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku
Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir engkau
lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”.
Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib AbdulKadir
tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang sedikitpun
jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.
Begitu
juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang
ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib
Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib
Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama
juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi
Muhammad SAW”……
Sedangkan
Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu
Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan
bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau
peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para
shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya
melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai anak didiknya
meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan
sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah
Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’.
Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah
menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta
kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang
diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah
akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan.
Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril
kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai
Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan
begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah letakkan
di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai Allah
tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”
Ada empat
hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang hadir di
majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah
rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada
Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai
akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di
perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun
bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya
bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad
SAW”…….