Tiba di lingkungan pesantren yang asri, perasaannya yang dari semula memang tidak tertarik dengan dunia pesantren tidak juga berubah. Masa-masa di SD dan SMP masih teramat indah tertanam di benaknya. Hobinya terhadap pelajaran Matematika dan ilmu-ilmu pengetahuan alam sejak duduk di bangku SD telah melahirkan tekad dalam hatinya untuk meneruskan pendidikan di sekolah-sekolah umum hingga tingkat yang paling tinggi.
“Ente bener mau tinggal di pesantren?” Pertanyaan ringan itu sontak membuyarkan angan-angannya. Namun wibawa dan kharisma penanya yang berada di hadapannya itu membuatnya tidak mampu berpikir jawaban apa yang harus diucapkannya.
“Mau, Bib.”
“Bener betah? Di pesantren nggak enak. Di pesantren makannya tempe. Di sisni tidurnya nggak enak. Semuanya nggak enak.”
“Bener, Bib.”
Tiba-tiba sang penanya yang penuh kharisma tadi memanggil salah seorang santri yang masih sangat kecil. Kira-kira ia duduk di bangku SD.
“Masmuk (siapa namamu)?” tanya sang habib kepada santri kecil itu.
“Ismi Fulan (Namaku Fulan).”
Setiap pertanyaan yang diajukan dijawab oleh santri belia itu dengan bahasa Arab yang fasih dan benar.
Tanpa disadari, pemandangan itu sangat menyentuh bathinnya. Hatinya mulai berkecamuk. Tanpa disadari, hatinya berbisik, “Ya Allah, anak kecil ini bukan habaib, bukan orang Arab, tetapi begitu fasihnya menuturkan ungngkapan-ungkapan percakapan bahasa Arab. Sedangkan aku sendiri, salah seorang dzurriyyah Rasulullah SAW, cucu para kakek yang alim, tidak tahu sama sekali ihwal bahasa Arab.”
Sejak saat itu, hatinya mulai tertarik pada dunia pesantren. Tekadnya untuk menguasai ilmu-ilmu agama, tanpa disadarinya, mulai tumbuh dalam hatinya. Kharisma yang terpancar dari pribadi besar, yang tidak lain adalah Habib Hasan Baharun, pengasuh PP Darul Lughah Waddakwah, Bangil, yang kemudian menjadi guru futuhnya, telah merasuk ke dalam sanubarinya, membuyarkan semua angan dan cita-cita yang selama itu di pendamnya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah umum.
Siapakah sosok anak muda itu? Tak lain dialah Habib Abdullah bin Ja`far Assegaf.
Harus Tetap Melihat kepada Kakak
Selepas menjamu tim alKisah berbuka puasa di Sekretariat Majelis Nurul Musthofa, Jln. R.M. Kahfi 1 Gg. Manggis, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, sebelum mengimami shalat Tarawih, Habib Abdullah menuturkan kisah-kisah pengalamannya, dari masa kanak-kanak hingga aktivitasnya terjun di dunia dakwah, kepada alKisah.
Habib Abdullah, atau lengkapnya Habib Abdullah bin Ja`far bin Umar bin Ja`far bin Syeckh bin Segaf Assegaf, lahir di Empang Bogor pada hari Senin 8 Juni 1981, bertepatan dengan 5 Sya`ban 1401 H.
Ia adalah putra kedua pasangan Habib Ja`far Assegaf dengan Syarifah Fathmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Ia adik kandung Habib Hasan bin Ja`far Assegaf, pengasuh dan pendiri Majelis Nurul Musthofa. Kedua adiknya yang juga kini sudah terjun di dunia dakwah adalah Habib Musthofa dan Habib Qosim.
Sejak kecil Habib Abdullah dididik dengan pendidikan agama yang ketat. Sang ayah, Habib Ja`far, sangat keras dalam mengawasi perkembangan anak-anaknya, terutama dalam hal menanamkan pengetahuan agama. Tak mengherankan, di samping belajar di madrasah, Habib Abdullah juga belajar ngaji kepada seorang ustadz yang sengaja dipanggil datang ke rumah.
Di usia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah diwajibkan untuk tidak lepas membaca Ratib Al-Attas selepas shalat Maghrib.
Setelah ratiban, selepas shalat Maghrib, ia berangkat ke madrasah sampai jam setengah sembilan malam. Sedangkan di pagi harinya, ia belajar di SDN Empang 2 Bogor. “Waktu itu Abah selalu berpesan, ‘Kamu harus jadi orang alim. Tapi kamu harus tetap melihat kepada kakak kamu (Habib Hasan)’.”
Habib Abdullah menuturkan bahwa abahnya sering bercerita, ada satu keluarga memiliki empat orang putra. Keempat putranya itu menjadi orang besar karena putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar. “Abah bilang, insya Allah kakakmu, Hasan, bakal jadi.” Karenanya, sejak kecil, Habib Abdullah selalu disarankan oleh abahnya untuk mengikuti jejak kakaknya, Habib Hasan. Itulah sebabnya, baginya, Habib Hasan bukan sekadar kakak, tetapi juga guru dan pembimbing yang diteladaninya.
Lulus dari SD tahun 1993, Habib Abdullah melanjutkan belajar ke SMPN 10 Cipaku dan lulus tahun 1996.
Setamat dari SMP, ia, yang selama itu selalu meraih peringkat sepuluh besar dan sangat menyukai pelajaran Matematika dan Fisika, tidak memiliki tekad lain kecuali masuk ke sekolah menengah atas favorit. Maka ia pun mendaftarkan diri dan diterima di SMAN 4 Bogor.
Namun ternyata sang ayah tidak mengizinkannya untuk melanjutkan ke sekolah umum, dan bermaksud memasukkannya ke pesantren. Meski demikian Habib Abdullah tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan pendidikan di sekolah umum, sampai-sampai ayahnya berkata, “Abah masukin kamu SD, SMP, biar bisa baca tulis, biar enggak dibohongin orang. Abah mau kamu mendalami agama. Kalau mau melanjutkan ke sekolah umum, silakan cari duit sendiri.”
“Tapi waktu itu saya tetap keukeuh dengan pendirian untuk masuk ke sekolah umum sampai-sampai Abah ngediemin saya,” kata Habib Abdullah mengenang abahnya, yang wafat tahun 2002.
Setelah kurang lebih enam bulan lamanya, akhirnya Habib Abdullah menyerah. “Ya udah deh, Abah, saya nyerah, terserah Abah aja kalau memang mau masukin saya ke pesantren.”
Selama enam bulan itu, Habib Abdullah meniru apa yang dilakukan Habib Hasan. Setiap hari yang dilakukannya hanya pulang-pergi dari rumah ke masjid.
Tidak lama kemudian Habib Abdullah dikirim ke pesantren Habib Nagib di Bekasi.
Namun baru beberapa hari, suasana pesantren, yang sama sekali baru bagi Habib Abdullah, sudah membuatnya tidak kerasan, terlebih lagi sejak awal ia tidak berminat untuk masuk ke pesantren. “Saya pun langsung nelepon Abah, saya sengaja bikin-bikin kisah-kisah yang nggak enak ke Abah…. Pokoknya yang penting waktu itu saya bisa pulang.”
“Sudah bisa baca Maulid belum?”
“Belum, Abah.”
“Nggak bisa. Kalau sudah bisa baca Maulid, kamu baru boleh pulang.”
Mendengar kata-kata sang ayah, akhirnya Habib Abdullah menggunakan waktu sepenuhnya untuk mempelajari Maulid, agar secepatnya bisa pulang. Kurang lebih tiga bulan lamanya, dan Maulid Al-Habsyi pun sudah dikuasainya dengan baik.
Habib Abdullah pun kemudian dijemput pulang kembali ke Empang.
Di pertengahan tahun 2007, Habib Abdullah diantar oleh Habib Hasan menuju Pesantren Darullughah Waddakwah (Dalwa). Di pesantren inilah, setelah bertemu dengan Habib Hasan Baharun, pandangan Habib Abdullah tentang pesantren dan dunianya mulai berubah. Mulai saat itu tekad dan cintanya sepenuhnya untuk pesantren.
“Waktu itu, ketika dites, karena semua materinya kebanyakan bahasa Arab, sedangkan membaca Al-Qur’an saja yang saya bisa, akhirnya saya pun ditempatkan di kelas III Ibtidaiyah Diniyah.” Adapun untuk Mu`adalahnya (sekolah persetaraan)-nya, Habib Abdullah tetap melanjutkan ke tingkat Aliyah hingga tamat dan mendapatkan ijazah.
Tahun 2000 adalah tahun duka bagi Habib Abdullah. Pada tahun itu, sang guru ruhani, Habib Hasan Baharun, dipanggil oleh Allah SWT. Pada tahun itu juga, Habib Abdullah mohon diri kepada Habib Zein bin Hasan Baharun, penerus Habib Hasan, untuk melanjutkan pendidikan Diniyahnya ke Hadhramaut di bawah tanggungan Habib Abdullah Krasak, yang masih termasuk keluarga dari ibunya.
Namun Allah berkehendak lain. Sebelum ia berangkat ke Hadhramaut, Habib Abdullah Krasak sudah terlebih dahulu dipanggil menghadap Allah SWT.
Sepeninggal Habib Abdullah Krasak, Habib Abdullah meminta pendapat Habib Shodiq Baharun, adik Habib Hasan Baharun, untuk langkah selanjutnya. Atas saran beliau, Habib Abdullah diminta untuk datang ke Darul Musthofa, Batik Keris, Solo, untuk membantu-bantu Habib Sholeh, pengasuh pesantren.
Di Solo, selain membantu di Darul Musthofa, Habib Abdullah juga aktif mendatangi majelis Habib Anis Solo untuk menimba ilmu kepada beliau.
Belum setahun tinggal di Darul Musthofa, Habib Hasan, yang waktu itu sudah memiliki majelis yang besar, meneleponnya untuk kembali ke Jakarta. Habib Hasan memintanya agar aktif membantu di Majelis Nurul Mushthofa. “Karena keinginan Habib Hasan tidak lain hanya agar masyarakat Jabodetabek ini, khususnya, dan masyarakat Indonesia, pada umumnya, mengenal dan mencintai Rasulullah, untuk membatu dan meneruskan apa-apa yang sudah dilakukan oleh para alim ulama, asatidz, kiai, dan habaib, selama ini,” kata Habib Abdullah.
Kini, selain diamanati sebagai ketua Yayasan Nurul Mushthofa, Habib Abdullah juga dipercaya untuk mengasuh Nurul Mushthofa wilayah Ciganjur dan sekitarnya serta mendampingi Habib Hasan di setiap kegiatan gabungan majelis Nurul Mushthofa.
Tahun 2004, Habib Abdullah menikah dengan Syarifah Fathimah binti Umar bin Alwi Al-Haddad dan kini sudah dikaruniai tiga orang putra. “Yang tertua bernama Muhammad, kedua Abdurrahman, dan yang ketiganya masih dalam kandungan.”
“Ganti Namanya dengan Nama Ane”
Sebelum mengakhiri kisahnya, Habib Abdullah menuturkan satu kenangan terindah bersama Al-Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, meskipun ia sendiri belum sempat mengaji kepada beliau.
Ketika putra keduanya lahir, Habib Abdullah memberinya nama “Muhsin”, mengambil dari nama kakeknya, Habib Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas. Namun putranya itu lahir dalam kondisi sangat kritis.
Dalam situasi semacam itu, Habib Abdullah hanya pasrah kepada Allah. Ia pun shalat Hajat dan memohon kesembuhan sang putra tercintanya. Tapi hari demi hari kondisi sang putra belum juga menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan.
Melihat situasi seperti itu, Habib Hasan, sang kakak, menyarankan agar Habib Abdullah pergi menemui Al-Walid Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri untuk meminta “air”, karena beliau adalah wali min awliyaillah, wali di antara wali-wali Allah.
Tanpa pikir panjang lagi, Habib Abdullah segera menuju ke kediaman Al-Walid dan mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Nama anak ente siape?”
“Muhsin, Bib.”
“Dari mane nama itu diambil?”
“Ane ambil dari nama kakeknya, Bib. Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas.”
Mendengar nama itu, Al-Walid diam sejenak.
“Emang namanya keberatan, Bib.”
“Ah, enggak. Bagus… bagus….”
Setelah minta air dan didoakan, Habib Abdullah pun segera mohon diri untuk kembali ke rumah sakit.
Namun belum lagi sampai di pintu majelis, tiba-tiba Al-Walid berseru, “Walad, ta`al… (Nak, sini…).”
Dengan wajah terkejut Habib Abdullah segera kembali menghampiri Al-Walid, yang masih duduk di tempat shalatnya.
“Ente mau anak ente sembuh, sehat.”
“Ye, Bib.”
“Ganti namanya dengan nama ane.”
Sontak saja, kata-kata Al-Walid, yang tidak diragukan lagi kewaliannya itu, bagaikan hujan membasahi bumi yang tengah kering kerontang dilanda kemarau panjang.
Tanpa menunda, saat itu juga Habib Abdullah langsung menelepon agar nama “Muhsin” yang diubah menjadi “Abdurrahman”.
“Alhamdulillah, mulai saat itu juga kondisi Abdurrahman berangsur-angsur membaik,” kata Habib Abdullah. “Ini sungguh merupakan keajaiban dari Allah….”